“Kenapa kamu suka naik gunung?” “Emang gak cape?” “Terus tidurnya dimana?” Aku yakin, hampir semua pendaki gunung pernah menerima pertanyaan itu. Atau mungkin sering. Terkadang saking seringnya saya jadi bosan dan malas menjawabnya, karena untuk tahu apa yang kita ingin tahu, kita harus mencobanya sendiri. Seperti naik gunung. Perjalanan menjejakan kaki menelusuri alam bebas bukan sekedar kuat membawa carriel yang beratnya melebihi karung beras, tapi lebih jauh dari itu, mendaki gunung bagi saya adalah sebuah pelajaran hidup yang dibaca melalui sebuah pendakian. Seperti perjalanan saya berikut ini.
(Sunset di gn. Guntur dgn background gn. Cikuray)
Dari sekian banyak gunung di Indonesia, kali ini saya dan teman-teman menjatuhkan pilihan pada satu gunung yang terletak di kota Garut, yaitu gunung Guntur. Setelah sarapan, kami re-packing dan bersiap-siap melakukan pendakian. Saya dan ke delapan teman saya pagi itu dengan semangat melangkahkan kaki menyusuri perkampungan, sawah, kebun dengan balutan embun pagi yang masih setia menyelimuti pemandangan di depan kami. Sekitar setengah jam berjalan, akhirnya ada truk pengangkut pasir sehingga kami ikut menumpang dengan bapak-bapak penambang pasir.
Dengan menaiki truk pasir bukan berarti kami “aman”. Dengan kondisi jalan berbatu yang cocok sekali untuk off road, truk menjadi oleng ke kiri dan ke kanan, bahkan sesekali selip dan harus di tarik dengan tambang. Di tengah pacuan adrenalin itu, dengan gagahnya gunung Cikuray menyapa kami seolah ingin memberitahu bahwa ialah penguasa Garut. Setelah satu jam berlalu, akhirnya sampailah kami di titik awal pendakian gunung Guntur yang berupa tempat penambangan pasir. Dari sinilah perjalanan kami yang sesungguhnya akan dimulai. Dan dari sini jugalah kami baru dapat melihat penampakan gunung Guntur yang sesungguhnya. Saat itu, hanya satu yang ada dalam pikiran saya ketika melihat Guntur dari dekat. “Seriusan ini gunung?”
Gunung api strato vulcano yang memiliki ketinggian sekitar 2.249 meter di atas permukaan laut itu memang gundul dengan jalur pendakian berupa pasir, kerikil dan batu. Hanya ada satu dua pohon saja yang tumbuh diatasnya. Rindangnya pohon hanya akan ditemui hingga curug Citiis saja. Namun dengan tekad dan semangat, Guntur justru memberikan tantangan tersendiri bagi kami. Bukan untuk menaklukannya, tetapi untuk menaklukan diri kami sendiri akan rasa takut dan khawatir.
Dengan diawali doa, pendakian pun kami mulai. Langkah demi langkah kami pijakkan menyusuri padang ilalang tandus. Perjalanan menuju curug Citiis inicukup menguras energi. Sesampainya di curug, kami pun mengisi penuh botol air minum karena di sini adalah sumber air terakhir yang ada di jalur pendakian gunung Guntur. Setelah melewati curug Citiis, saatnya say hello to the sand (stone).
Satu, dua, tiga langkah... turun lagi. Satu, dua, tiga langkah... turun lagi. Begitulah seterusnya kami menapaki gundukan pasir raksasa yang dibuat Tuhan dengan segala kekuasaanNya. Matahari yang semakin menyeret dirinya keatas langit biru membuat kami makhluk-makhluk kecil di bumi ini semakin lelah. Keringat sudah bercucuran di kening kami. Pasir, pasir dan pasir. Sejauh mata memandang hanya pasir yang bisa kami lihat. Hanya ada satu dua pohon cemara yang tumbuh. Itu pun dengan jarak yang sangat berjauhan. Namun mungkin di situ tujuan Tuhan membuat gunung Guntur sedemikian rupa, untuk mengingatkan manusia agar tidak lupa daratan dengan segala kenikmatan yang ada.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 dan kami merasakan bahwa alam sedang berbicara kepada kami. Sedikit demi sedikit kami teruskan perjalan. Seiiring dengan itu, langit yang tadinya biru juga sedikit demi sedikit mengijinkan awan mendung menutupinya. Tanpa basa basi gerimis mulai menjatuhkan rintiknya, disusul dengan petir dan kilat. Kami pun segera memakai rain coat. Tak ada tempat berteduh. Hanya pasir dimana-mana. Tak ada pilihan bagi kami selain terus berjalan ditengah hujan deras dan petir yang saling bersahutan.
Dengan kondisi cuaca yang ektrim, langkah kami pun semakin berat. Kondisi track pendakian yang berupa pasir dan kerikil menjadi semakin licin. Bahkan sesekali kami harus tiarap untuk menghindari kilatan petir. Saat itu hanya doa dan doa yang bisa kami panjatkan selain disiplin dan tetap konsentrasi melangkahkan kaki kami hingga kami sampai di puncak satu. Hujan yang semakin deras memaksa kami membongkar tenda di puncak satu Guntur dengan luas lahan yang hanya sekitar tujuh kali tiga meter saja. Semabri menahan dinginnya hujan dan angin yang menerpa tubuh kami, akhirnya tenda kami dapat berdiri. Lalu kami pun masuk ke dalam tenda yang tentu saja basah. Tak banyak yaang dapat kami lakukan di dalam tenda kecuali makan snack yang kami bawa, karena badai itu kami tidak sempat makan siang. Walhasil ketika diam, rasa lapar itu menghampiri.
(Tenda kami pasca badai)
Menjelang maghrib akhirnya hujan pun berhenti. Kami langsung berganti pakaian kering, mengeringkan tenda dan membuat persiapan untuk makan malam. Badai ekstrem tadi menjadikan tanah disekitar tenda kami becek sehingga kami terpaksa memasak didalam tenda. Begitu masakan selesai, tanpa basa basi kami pun langsung melahap semua makanan yang tersedia. Alhamdulillah, it was so yummy. Benar ternyata jika makan enak itu bukan tentang dengan apa lauknya tetapi dengan siapa kita makan. Setelah perjalanan yang sangat menantang dan terjangan badai, makan malam dengan sahabat-sahabat seperjuangan seperti ini menjadi sangat nikmat dan tak ternilai harganya. Sekali lagi, alam telah memberikan kami pelajaran dan pengalaman yang berharga.
Sekitar pukul 20.30 kami berkumpul diluar, mengobrol dan bercanda sambil menikmati indahnya pemandangan city light kota garut yang terbentang dihadapan kami. Karena suhu udara yang semakin dingin, kami pun masuk lagi ke dalam tenda dan melanjutkan perbincangan kami di dalam tenda. Dan di alam bebas seperti ini biasanya kami banyak bertukar pikiran melalui cerita dan sharing pengalaman satu sama lain, tentang apa pun itu. Entah mengapa alam selalu bisa memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang mau bergau dengannya. Maha Besar Tuhan dengan segala keasyikanNya.
Setelah puas mengobrol dan bermain games, rasa kantuk pun menghampiri kami dan satu persatu kami pun masuk ke dalam sleeping bag masing-masing. Menjelang subuh ketika kami bangun, ternyata diluar hujan hingga pukul 06.00. Begitu kami keluar tenda, gumpalan kabut menyelimuti sekeliling kami. Tapi tetap indah dan justru kabut-kabut putih itu menjadikan gunung Guntur eksotis. Kami pun memutuskan untuk naik ke puncak guntur dua.
Sedikit demi sedikit kabut mulai tersingkap dan pemandangan hamparan rumput warna warni tersaji di depan mata kita. Inilah karya Tuhan. Di atas gunung berpasir dan berkerikil, Tuhan menumbuhkan rerumputan yang indah dan subur. Saya tidak tahu harus berkata apa lagi melihat semua refleksi keagunganNya. Dan di pagi hari seperti ini, tanah yang kami injak untuk mencapai puncak dua Guntur mengeluarkan aktivitas asap dari kawah yang kami kira kabut, tetapi setelah kami injak tanahnya terasa panas. Tak sampai tiga puluh menit kami sudah sampai di puncak guntur dua.
Di balik kesulitan pasti ada kesenangan. Setelah gelap terbitlah terang. Dan setelah badai terbitlah matahari. Mungkin itulah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keindahan yang Tuhan berikan kepada kami pagi itu. Setelah hari sebelumnya kami survive dari badai, pagi itu segala keindahan gunung Guntur terhampar dengan jelas. Buaian angin dan semburan sinar mentari pagi yang hangat membuat kami betah berlama-lama berada di puncak memandangi dan menikmati sedikit kekayaan alam Indonesia. Luasnya kota Garut terhampar di depan kami dengan penjagaan si gagah, gunung Cikuray. Memandangi gunung Cikuray yang berdiri tegak persis di sebelah kanan gunung Guntur menyadarkan saya akan sesuatu, bahwa kami manusia hanya berupa makhluk kecil yang ‘terjebak’ di bumi. Bahwa di dunia ini terdapat banyak yang jauh lebih kuat sehingga memang tak pantas jika manusia bertingkah sombong. Ah, asli Indonesia keren banget. Gak nyesel deh jadi pendaki gunung apalagi jadi orang Indonesia. Bangga, bangga dan bangga.
Setelah kami puas befoto ria di puncak dua, kami memutuskan kembali ke tenda karena tampaknya cacing dalam perut kami sudah berdemo minta diisi. Sebenarnya gunung Guntur memiliki empat puncak, dengan puncak tertingginya yang disebut puncak Masigit, namun kami sudah puas bisa menginjakkan kaki dengan selamat sampai di puncak dua. Karena bagi saya naik gunung bukan sekedar soal puncak, tetapi tentang kepuasan batin yang didapat. Bagi saya yang terpenting dari sebuah pendakian bukan puncak, tetapi proses menuju ke puncaknya. Bagaimana kita mengalahkan diri kita sendiri untuk tetap berjuang dan fokus terhadap tujuan yang ingin kita capai. Karena naik gunung adalah refleksi perjalanan hidup manusia. Bukankah dalam hidup pun kita harus berjuang dan bekerja keras terlebih dahulu sebelum meraih kesuksesan? Bukankah jalan menuju kesuksesan tidak selalu datar? Dan selalu ada ujian dalam perjalanan itu. Sekali lagi, Tuhan telah membuktikan kekuasaanNya melalui alam. Dan manusia hanya tinggal membuka mata dan berani melangkahkan kaki menelusuri semuanya. Seperti kata Soe Hok Gie “Aku cinta pada keberanian hidup.” Karena hanya pengecut yang hanya berdiam diri dan takut untuk melangkah!
Selamat mendaki!
Find me on twitter and instagram: @ungodamn