Powered By Blogger

Minggu, 15 Desember 2013

Bahasa dan Budaya


Belajar bahasa berarti belajar budaya, begitu yang dikatakan dosen saya. Ketika seseorang mempelajari bahasa maupun mempelajari tentang bahasa mau tidak mau ia dituntut untuk mempelajari juga budaya tempat dimana bahasa itu dipakai. Hal ini terjadi karena bahasa merupakan bagian dari suatu bangsa. Setiap negara atau daerah memiliki bahasa dan budayanya masing-masing yang saling berkesinambungan.
Bahasa bukan hanya merupakan sebuah alat komunikasi tetapi juga merupakan suatu identitas. Banyak negara dewasa ini yang sangat mengagungkan bahasanya, khususnya negara-negara di Eropa. Seperti Jerman dan Prancis. Orang Jerman sangat bangga terhadap Deutschnya. Mereka menganggap bahwa bahasa adalah sebuah identitas dan kehormatan bangsa, sehingga tak heran jika di Jerman kalian akan menemukan semua petunjuk dijalanan atau ditempat-tempat umum dengan menggunakan bahasa Jerman. Bahkan semua buku, film dan iklan yang masuk ke negara yang terletak di jantung Eropa ini akan diterjemahkan terlebih dahulu kedalam bahasa Jerman, termasuk film-film kartun seperti Spongebob Square Pants menjadi Spongebob Schwammkopf atau slogan internasional Mc Donald yang terkenal, “I’m lovin‘ it“ diganti menjadi “Ich liebe es“. Maka tak heran jika film-film hollywood yang masuk kenegara ini sering sedikit terlambat dibanding negara-negara lain karena harus melewati proses dubbing terlebih dahulu.
Tak hanya Jerman, begitu pun Prancis. Negara bekas kekuasaan Napoleon Bonaparte ini malah lebih “parah“ dalam hal bahasa. Tak hanya mencintai dan bangga, orang-orang Prancis juga sangat melestarikan bahasanya. Saking cintanya mereka tak mau berbicara bahasa lain dinegaranya kecuali bahasa Prancis. Jadi buat kalian yang ingin pergi kenegara pemilik Eiffel ini sangat disarankan untuk menguasai bahasa Prancis, minimal dasarnya. Orang-orang Prancis sebenarnya mengerti bahasa Inggris namun ketika kita mengajak mereka berbicara bahasa Prancis jangan heran jika mereka menjawabnya dalam bahasa Prancis. Walhasil untuk mereka yang sama sekali tidak mengerti bahasa Prancis akan bingung dan ujungnya mengeluarkan bahasa Tarzan. Alasan lain mengapa penguasaan bahasa Prancis (walaupun itu dasar) sangat diperlukan ketika berada disana adalah ketika kita akan membeli tiket bis atau metro. Seperti kita ketahui bahwa pembelian tiket kendaraan umum di Eropa berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia ada petugas tiket baik di terminal ataupun di stasiun atau kondektur didalam bis, di Eropa kita harus membeli tiket sendiri, alias transaksi dengan mesin tiket otomatis. Dan di Prancis semua mesin pembelian tiket berbahasa Prancis! Disana tidak terdapat bahasa Inggris yang notabene adalah bahasa internasioanal. Jadi jika kita tidak mengerti bahasa Prancis akan sangat sulit bagi kita membeli tiket. Berdoa dan berharap seseorang mau berbaik hati membantu turis. That’s gonna save you in France!
Mungkin tak hanya Jerman dan Prancis yang “over-protective” terhadap bahasanya, negara-negara lain pun banyak yang seperti itu. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sudahkan kita bangga terhadap bahasa Indonesia seperti yang tertulis dalam teks Sumpah Pemuda, “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”? Secara harfiah seharusnya Indonesia sangat berbangga terhadap bahasanya. Karena letak geografis Indonesia yang strategis sehingga menjadi negara kepulauan terbesar didunia, Indonesia memiliki ribuan pulau lengkap dengan ribuan bahasa yang berbeda. Sebuah keragaman dan kebanggaan tersendiri.
Setiap bahasa yang digunakan disuatu daerah secara otomatis menunjukkan siapa yang berada disana, sehingga tak heran jika bahasa juga didefinisikan sebagai sebuah identitas. Contohnya bahasa sunda menunjukkan jati diri orang-orang suku sunda atau ketika kita menginjakkan kaki dikota Medan, secara otomatis itu menunjukkan siapa yang berada disana dengan segala macam budaya yang terkandung didalamnya. Pentingnya belajar bahasa dan belajar tentang bahasa selain sebagai alat komunikasi adalah sebagai alat untuk belajar yang lain dan mengenal budayanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT, bahwa Dia mencipatakan makhlukNya berbeda-beda dengan tujuan untuk saling mengenal. Maka salah satu cara untuk mengenal adalah dengan menguasai bahasanya terlebih dahulu.
Selain bahasa ibu dan bahasa daerah tempat kita tinggal, tak dapat dipungkiri bahwa saat ini kita juga harus menguasai bahasa lain, terutama bahasa asing. Bahasa Inggris misalnya, mau tidak mau kita dituntut untuk bisa berbicara bahasa Inggris karena perkembangan global yang terjadi secara otomatis menggiring manusia untuk berpikir secara global juga. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tak akan bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia saat ini, sehingga penguasaan bahasa Inggris akan sangat menolong kita dalam bergaul, berkomunikasai, studi bahkan bekerja. Maka tak jarang sekarang ini sering ditemui salah satu syarat melamar pekerjaan adalah mampu berbahasa Inggris. Itu menjadikan bukti bahwa manusia saat ini sudah memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas.
Budaya yang dimiliki oleh setiap daerah atau negara juga mendatangkan hal serupa, yakni tuntutan penguasaan bahasa asing. Budaya yang unik dan menarik akan banyak mendatangkan para wisatawan baik domestik maupun asing untuk mengunjungi tempat tersebut sehingga mau tidak mau orang-orang setempat harus mampu menguasai bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Walaupun sebenarnya keadaan ini terbalik dengan realitas yang terjadi dinegara-negara Eropa. Wisatawan mancanegara yang ingin berlibur ke Paris misalnya harus menguasai bahasa Prancis, begitupun dengan Italia dan Spanyol. Hal ini berbeda dengan di Indonesia bukan? Justru kitalah sebagai tuan rumah yang harus mempelajari bahasa asing. Hal ini juga terjadi akibat pengaruh politik dan ekonomi. Indonesia yang berstatus sebagai negara berkembang saat ini memang mau tidak mau harus menyesuaikan keadaan pasar. Lain halnya dengan negara-negara di Eropa atau Amerika yang sudah berstatus sebagai negara maju. Mereka yang saat ini lebih memegang kendali terhadap perkembangan pasar global.
Pengaruh bahasa juga bukan hanya terbatas pada bidang ekonomi atau ilmu pengetahuan saja, bahasa juga ternyata bisa membawa budaya asal dimana bahasa tersebut dipakai. Contohnya bahasa Jepang yang saat ini sudah marak dipelajari di Indonesia juga sedikit banyaknya telah membawa budaya Jepang ketanah air. Kita sering menemukan banyak acara-acara anak muda khususnya yang berbau Jepang, seperti pameran, cosplay, konser musik, fashion hingga trend boy dan girl band. Kemajuan ekonomi Korea Selatan saat ini ternyata banyak dibantu oleh pemasukan dari bidang hiburan, yaitu film, drama dan musik. Kemajuan pesat dunia hiburan Korea Selatan juga memberikan dampak kepada penikmat Korea ditanah air. Saat ini banyak anak muda yang berbondong-bondong mempelajari bahasa Korea. Begitulah bahasa dan budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. 
Dalam mempelajari suatu bahasa khususnya bahasa asing kita juga harus berhati-hati dan cerdik dalam menggunakannya, jangan sampai kita menjadi orang lain, dalam artian kita kehilangan jati diri dan mengikut pada budaya tempat bahasa yang kita pelajari, atau jangan sampai kita merubah esensi dari bahasa itu sendiri. Seperti yang sudah terjadi di Indonesia. Sepele tapi tetap saja salah. Keadaan Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar didunia menjadikan bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab. Orang-orang Indonesia pun tak sedikit yang beranggapan bahwa Arab adalah semua tentang muslim. Padahal itu jelas-jelas salah. Saudi Arabia adalah negara dengan penduduk Yahudi yang sangat banyak, berbeda dengan yang selama ini orang pikirkan bahwa orang Arab itu muslim, padahal tidak. Al-Quran yang ditulis dalam bahasa Arab sedikit banyak telah mempengaruhi mindset orang-orang, khususnya di Indonesia. Hampir semua kata serapan yang berasal dari bahasa Arab sering diidentikan dengan Islam dan muslim. Contoh kecilnya adalah penggunaan kata “akhwat“. Entah kenapa kata “akhwat“ di Indonesia sering ditujukan atau diartikan sebagai seorang wanita yang memakai hijab panjang, padahal “akhwat“ sendiri artinya adalah wanita, tak peduli wanita yang mana, mau dia berjilbab atau tidak. Pun juga dengan kalimat “Met Milad“. Menurut beberapa ustadz, mengucapkan “Selamat ulang tahun“ atau “Happy birthday“ itu tidak boleh, karena menyerupai budaya orang-orang Yahudi dan Allah SWT berkata bahwa barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kedalamnya. Tapi sekarang ini banyak mereka yang mengganti ucapan “Happy birthday“ dengan kalimat “Met milad“. Apakah tujuan penggantian ucapan kedalam bahasa Arab akan menghilangkan esensi dari makna sebenarya? Apa bedanya “Happy birthday“ dan “Met milad“? Sama bukan? Itulah bahasa. Terkadang esensi dari bahasa itu dirubah dengan seenaknya oleh manusia padahal eksistensi sebuah bahasa tak bisa diutak-atik sembarangan. Jika salah mengartikan bisa berdampak buruk.
Itulah sekilas tentang bagaimana bahasa dan budaya yang saling memberikan pengaruh satu sama lain. Bahasa memang merupakan sebuah alat. Alat komunikasi, alat pemersatu hingga alat kemajuan suatu kaum atau bangsa. Orang-orang modern saat ini dituntut untuk mempelajari banyak bahasa agar dapat bersaing dengan orang lain. Bahkan menurut sebuah penelitian, orang yang banyak menguasai bahasa artinya ia memiliki IQ yang tinggi. Dan tak hanya sekedar IQ, jika kita menguasai banyak bahasa akan banyak pula manfaat yang kita rasakan. Mari kita belajar tanpa melupakan darimana kita berasal dan lestarikan bahasa Indonesia!!!

@ungodamn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar