Powered By Blogger

Kamis, 14 November 2013

Bis Kota Jendela Dunia


Bagi sebagian orang bepergian dengan menggunakan bis merupakan hal yang membosankan, bahkan mungkin menyebalkan. Bagaimana tidak, selain sumpek, panas, banyak pedagang yang menawarkan ini itu, banyak pengamen hingga rawan terjadinya pencopetan yang membuat para penumpang resah. Tapi memang bis kota merupakan sarana transportasi favorit masyarakat, karena tarifnya yang relatif murah.
Seperti sebelum-sebelumnya, perjalanan Bandung-Cianjur kali ini pun saya tempuh dengan menggunakan bis. Namun kali ini saya terpaksa harus naik bis ekonomi. Begitu saya duduk, langsung diserbu para pedagang yang menawarkan dagangan mereka *dengan sedikit memaksa*. Dalam keadaan lelah, saya harus tetap tersenyum kepada mereka. Memang terkadang para pedagang di bis sering membuat kesal, tapi mau bagaimana lagi, itu adalah cara mereka untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
Kali ini saya duduk dekat jendela agar bisa melihat pemandangan diluar. Dan juga agar tidak terganggu orang yang lewat naik turun dan juga pak kondektur yang menagih ongkos kepada para penumpang ;). Bis pun mulai bergerak dan meninggalkan terminal yang penuh sesak, asap, teriakan calo dan para penumpang yang duduk dikursi dengan wajah letih menunggu bis yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan masing-masing.
20 menit berlalu dan mulailah “atraksi“ didalam bis. Para pengamen mulai turun naik untuk “menjual” suara mereka. 2 orang gadis kecil, usia 10 tahunan, dengan kaos oblong lusuh dan sandal jepit mulai menyanyikan lagu Wali dengan iringan gitar butut. Si penyanyi mengeluarkan suaranya yang serak dan temannya memetik senar gitar dengan penuh keceriaan dan senyuman, walaupun dengan keringat yang meleleh diwajah mereka.
Sekilas tidak tampak bahwa 2 gadis kecil itu adalah anak-anak yang sedang mengumpulkan receh demi receh untuk mencari sesuap nasi. Begitu polos dan cerianya mereka hingga mungkin pekerjaan yang saya sendiri belum tentu bisa, dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Dua lagu telah berakhir dan mereka mulai menyodorkan kantong plastik bekas permen kepada penumpang, berharap mereka mau menyisihkan sisa-sisa uang recehnya. Dua gadis kecil itu pun turun dari bis dan bersiap kembali menapaki dunia ini dengan kaki-kaki mungilnya.
Bis pun terus melaju hingga daerah Padalarang sebelum akhirnya berhenti sejenak untuk mencari penumpang lain. Saat itulah saya melihat ada seorang wanita. Tidak terlalu tua, usianya sekitar 30an. Dengan memakai pakaian lusuh yang tertutup lengkap dengan topi, si wanita dengan kuat memikul semen dari halaman rumah ke sebuah gudang. Satu demi satu tumpukan semen itu ia pindahkan. Hanya satu orang laki-laki yang menjadi partnernya. Panasnya terik matahari yang membakar kulitnya tak ia hiraukan. Beribu keringat telah membanjiri tubuh wanita itu. Inikah yang namanya emansipasi? Atau kami (wanita) hanya bagian korban dari busuknya demokrasi? Satu hal yang saat itu ada dalam benak saya, betapa hebatnya kami, kaum perempuan. Saya tidak tahu latar belakang dan motif apa sehingga wanita itu rela bekerja sebagai kuli yang notabene adalah pekerjaan lelaki. Tapi satu hal pasti, ia hanya mencoba untuk terus hidup. Survive dalam gembar-gembor sistem demokrasi yang hanya berlaku bagi sebagian kaum saja.
Seharusnya mereka melihat. Atau sebenarnya mereka melihat namun pura-pura tidak melihat? Pemandangan ini sangat menyadarkan saya tentang bokbroknya negeri ini. Rakyat Indonesia belum merdeka. Indonesia adalah negeri yang bodoh, bukan secara harfiah. Kita semua masih memiliki banyak PR untuk membenahi negeri dengan kekayaan yang melimpah ini.
Tak cukup sampai drama si wanita tadi, jika kita peka dan paham, segala sesuatu yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari adalah contoh nyata dari pelajaran hidup yang berharga. Hanya 3 jam duduk di bis jurusan Bandung-Sukabumi saja Tuhan telah memperlihatkan bagaimana rupa manusia Indonesia. Mereka yang setiap hari duduk nyaman didalam kendaraannya yang berplat nomer merah tak akan pernah melihat realitas dihadapan mereka ini karena kekuasaan. Andai mereka mau berbaur dengan rakyat, pergi menggunakan kendaraan umum, mereka akan tahu lebih dalam tentang orang-orang yang mereka pimpin.
Pernah suatu waktu ketika saya memperhatikan keluar jendela ada 3 orang penjual asongan yang sedang menunggu bis kami berhenti. Satu orang diantara mereka usianya tidak lagi muda, sudah bisa dibilang seorang kakek, sedangkan dua orang lagi masih berusia muda. Ketika bis kami berhenti ketiga penjual asongan tersebut lari berebut untuk dapat masuk kedalam bus, karena didalam bus AC tidak boleh ada penjual dengan skala besar, biasanya hanya 2 pedagang saja yang diijinkan masuk, itupun sebentar. Kala itu, si kakek harus berlari dengan dua orang saingannya yang masih kuat. Dan memang kakek itu yang terakhir. Kedua pedagang yang masih muda telah masuk kedalam bis dan langsung menjajakan barang dagangannya berupa cemilan dan air kepada para penumpang. Lain halnya dengan si kakek. Begitu akan melangkah kedalam bis, dipintu bis beliau ditahan dan dimarahi oleh sang kondektur. Beruntung salah satu pedagang yang masuk tadi sudah keluar bis, mungkin karena dagangannya tidak laku, akhirnya si kakek diijinkan masuk. Dari bangku satu ke bangku yang lain beliau menawarkan air mineral yang dibawanya. Karena saya haus dan iba juga melihat beliau saya pun membeli dagangannya. Dan ketika beliau menerima uang, dengan ikhlas beliau melempar senyumnya dan mendoakan saya. Sekali lagi, inilah cara Tuhan berkomunikasi dengan hambaNya. Dimana pun, melalui perantara apapun dan bagimana pun caranya hanya jika kita bisa melihat dan mendengar maka kita kan merasakan. Allah Maha Besar. Barakallah. Doa terbaik saya untuk sang kakek penjual tadi.
Itulah hidup. Terkadang kita lupa tentang siapa diri kita, bahkan terkadang kita juga lupa tentang tujuan hidup kita. Kita datang bersujud kehadapanNya lima kali sehari, namun Dia datang setiap waktu kepada kita, hanya jika kita peka dan paham. Tuhan memiliki caranya tersendiri untuk berinteraksi. Pengalaman saya ini hanya sebagai pelajaran kecil yang, untuk saya pribadi, menjadi teguran untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, yang tidak akan pernah tunduk kepada mereka yang menggunakan kekuasaannya hanya untuk memiliki dunia.


@ungodamn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar