Belajar bahasa berarti belajar budaya, begitu yang dikatakan dosen saya.
Ketika seseorang mempelajari bahasa maupun mempelajari tentang bahasa mau tidak
mau ia dituntut untuk mempelajari juga budaya tempat dimana bahasa itu dipakai.
Hal ini terjadi karena bahasa merupakan bagian dari suatu bangsa. Setiap negara
atau daerah memiliki bahasa dan budayanya masing-masing yang saling
berkesinambungan.
Bahasa bukan hanya merupakan sebuah alat komunikasi tetapi juga merupakan
suatu identitas. Banyak negara dewasa ini yang sangat mengagungkan bahasanya,
khususnya negara-negara di Eropa. Seperti Jerman dan Prancis. Orang Jerman
sangat bangga terhadap Deutschnya.
Mereka menganggap bahwa bahasa adalah sebuah identitas dan kehormatan bangsa,
sehingga tak heran jika di Jerman kalian akan menemukan semua petunjuk
dijalanan atau ditempat-tempat umum dengan menggunakan bahasa Jerman. Bahkan
semua buku, film dan iklan yang masuk ke negara yang terletak di jantung Eropa
ini akan diterjemahkan terlebih dahulu kedalam bahasa Jerman, termasuk
film-film kartun seperti Spongebob Square Pants menjadi Spongebob Schwammkopf
atau slogan internasional Mc Donald yang terkenal, “I’m lovin‘ it“ diganti
menjadi “Ich liebe es“. Maka tak heran jika film-film hollywood yang masuk
kenegara ini sering sedikit terlambat dibanding negara-negara lain karena harus
melewati proses dubbing terlebih dahulu.
Tak hanya Jerman, begitu pun Prancis. Negara bekas kekuasaan Napoleon
Bonaparte ini malah lebih “parah“ dalam hal bahasa. Tak hanya mencintai dan
bangga, orang-orang Prancis juga sangat melestarikan bahasanya. Saking cintanya
mereka tak mau berbicara bahasa lain dinegaranya kecuali bahasa Prancis. Jadi
buat kalian yang ingin pergi kenegara pemilik Eiffel ini sangat disarankan
untuk menguasai bahasa Prancis, minimal dasarnya. Orang-orang Prancis
sebenarnya mengerti bahasa Inggris namun ketika kita mengajak mereka berbicara
bahasa Prancis jangan heran jika mereka menjawabnya dalam bahasa Prancis.
Walhasil untuk mereka yang sama sekali tidak mengerti bahasa Prancis akan
bingung dan ujungnya mengeluarkan bahasa Tarzan. Alasan lain mengapa penguasaan
bahasa Prancis (walaupun itu dasar) sangat diperlukan ketika berada disana
adalah ketika kita akan membeli tiket bis atau metro. Seperti kita ketahui
bahwa pembelian tiket kendaraan umum di Eropa berbeda dengan di Indonesia. Jika
di Indonesia ada petugas tiket baik di terminal ataupun di stasiun atau
kondektur didalam bis, di Eropa kita harus membeli tiket sendiri, alias
transaksi dengan mesin tiket otomatis. Dan di Prancis semua
mesin pembelian tiket berbahasa Prancis! Disana tidak terdapat bahasa Inggris
yang notabene adalah bahasa internasioanal. Jadi jika kita tidak mengerti
bahasa Prancis akan sangat sulit bagi kita membeli tiket. Berdoa dan berharap
seseorang mau berbaik hati membantu turis. That’s gonna save you in France!
Mungkin tak hanya
Jerman dan Prancis yang “over-protective” terhadap bahasanya, negara-negara
lain pun banyak yang seperti itu. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sudahkan
kita bangga terhadap bahasa Indonesia seperti yang tertulis dalam teks Sumpah
Pemuda, “Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”? Secara harfiah seharusnya Indonesia
sangat berbangga terhadap bahasanya. Karena letak geografis Indonesia yang strategis
sehingga menjadi negara kepulauan terbesar didunia, Indonesia memiliki ribuan
pulau lengkap dengan ribuan bahasa yang berbeda. Sebuah keragaman dan
kebanggaan tersendiri.
Setiap bahasa yang
digunakan disuatu daerah secara otomatis menunjukkan siapa yang berada disana,
sehingga tak heran jika bahasa juga didefinisikan sebagai sebuah identitas. Contohnya
bahasa sunda menunjukkan jati diri orang-orang suku sunda atau ketika kita
menginjakkan kaki dikota Medan, secara otomatis itu menunjukkan siapa yang
berada disana dengan segala macam budaya yang terkandung didalamnya. Pentingnya
belajar bahasa dan belajar tentang bahasa selain sebagai alat komunikasi adalah
sebagai alat untuk belajar yang lain dan mengenal budayanya sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allah SWT, bahwa Dia mencipatakan makhlukNya berbeda-beda
dengan tujuan untuk saling mengenal. Maka salah satu cara untuk mengenal adalah
dengan menguasai bahasanya terlebih dahulu.
Selain bahasa ibu dan
bahasa daerah tempat kita tinggal, tak dapat dipungkiri bahwa saat ini kita
juga harus menguasai bahasa lain, terutama bahasa asing. Bahasa Inggris
misalnya, mau tidak mau kita dituntut untuk bisa berbicara bahasa Inggris
karena perkembangan global yang terjadi secara otomatis menggiring manusia
untuk berpikir secara global juga. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tak akan bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia saat ini, sehingga penguasaan
bahasa Inggris akan sangat menolong kita dalam bergaul, berkomunikasai, studi
bahkan bekerja. Maka tak jarang sekarang ini sering ditemui salah satu syarat
melamar pekerjaan adalah mampu berbahasa Inggris. Itu menjadikan bukti bahwa
manusia saat ini sudah memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas.
Budaya yang dimiliki
oleh setiap daerah atau negara juga mendatangkan hal serupa, yakni tuntutan
penguasaan bahasa asing. Budaya yang unik dan menarik akan banyak mendatangkan
para wisatawan baik domestik maupun asing untuk mengunjungi tempat tersebut
sehingga mau tidak mau orang-orang setempat harus mampu menguasai bahasa asing,
minimal bahasa Inggris. Walaupun
sebenarnya keadaan ini terbalik dengan realitas yang terjadi dinegara-negara
Eropa. Wisatawan mancanegara yang ingin berlibur ke Paris misalnya harus
menguasai bahasa Prancis, begitupun dengan Italia dan Spanyol. Hal ini berbeda
dengan di Indonesia bukan? Justru kitalah sebagai tuan rumah
yang harus mempelajari bahasa asing. Hal ini juga terjadi akibat pengaruh
politik dan ekonomi. Indonesia yang berstatus sebagai negara berkembang saat
ini memang mau tidak mau harus menyesuaikan keadaan pasar. Lain halnya dengan negara-negara di Eropa atau Amerika
yang sudah berstatus sebagai negara maju. Mereka yang saat ini lebih memegang
kendali terhadap perkembangan pasar global.
Pengaruh bahasa juga bukan hanya terbatas pada bidang ekonomi atau ilmu
pengetahuan saja, bahasa juga ternyata bisa membawa budaya asal dimana bahasa
tersebut dipakai. Contohnya bahasa Jepang yang saat ini sudah marak dipelajari
di Indonesia juga sedikit banyaknya telah membawa budaya Jepang ketanah air. Kita
sering menemukan banyak acara-acara anak muda khususnya yang berbau Jepang,
seperti pameran, cosplay, konser musik, fashion hingga trend boy dan girl band.
Kemajuan ekonomi Korea Selatan saat ini ternyata banyak dibantu oleh pemasukan dari
bidang hiburan, yaitu film, drama dan musik. Kemajuan pesat dunia hiburan Korea
Selatan juga memberikan dampak kepada penikmat Korea ditanah air. Saat ini
banyak anak muda yang berbondong-bondong mempelajari bahasa Korea. Begitulah
bahasa dan budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam mempelajari suatu
bahasa khususnya bahasa asing kita juga harus berhati-hati dan cerdik dalam
menggunakannya, jangan sampai kita menjadi orang lain, dalam artian kita
kehilangan jati diri dan mengikut pada budaya tempat bahasa yang kita pelajari,
atau jangan sampai kita merubah esensi dari bahasa itu sendiri. Seperti yang
sudah terjadi di Indonesia. Sepele tapi tetap saja salah. Keadaan Indonesia
yang merupakan negara muslim terbesar didunia menjadikan bahasa Indonesia
banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab. Orang-orang Indonesia pun tak sedikit yang
beranggapan bahwa Arab adalah semua tentang muslim. Padahal itu jelas-jelas
salah. Saudi Arabia adalah negara dengan penduduk Yahudi yang sangat banyak,
berbeda dengan yang selama ini orang pikirkan bahwa orang Arab itu muslim,
padahal tidak. Al-Quran yang ditulis dalam bahasa Arab sedikit banyak telah
mempengaruhi mindset orang-orang, khususnya di Indonesia. Hampir semua kata serapan yang berasal dari bahasa Arab
sering diidentikan dengan Islam dan muslim. Contoh kecilnya adalah penggunaan
kata “akhwat“. Entah kenapa kata “akhwat“ di Indonesia sering ditujukan atau
diartikan sebagai seorang wanita yang memakai hijab panjang, padahal “akhwat“
sendiri artinya adalah wanita, tak peduli wanita yang mana, mau dia berjilbab
atau tidak. Pun juga dengan kalimat “Met Milad“. Menurut beberapa ustadz,
mengucapkan “Selamat ulang tahun“ atau “Happy birthday“ itu tidak boleh, karena
menyerupai budaya orang-orang Yahudi dan Allah SWT berkata bahwa barang siapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kedalamnya. Tapi sekarang ini
banyak mereka yang mengganti ucapan “Happy birthday“ dengan kalimat “Met
milad“. Apakah tujuan penggantian ucapan kedalam bahasa Arab akan menghilangkan
esensi dari makna sebenarya? Apa bedanya “Happy birthday“ dan
“Met milad“? Sama bukan? Itulah bahasa. Terkadang esensi dari bahasa itu
dirubah dengan seenaknya oleh manusia padahal eksistensi sebuah bahasa tak bisa
diutak-atik sembarangan. Jika salah mengartikan bisa berdampak buruk.
Itulah sekilas tentang
bagaimana bahasa dan budaya yang saling memberikan pengaruh satu sama lain.
Bahasa memang merupakan sebuah alat. Alat komunikasi, alat pemersatu hingga alat kemajuan suatu kaum atau
bangsa. Orang-orang modern saat ini dituntut untuk mempelajari banyak bahasa
agar dapat bersaing dengan orang lain. Bahkan menurut sebuah penelitian, orang
yang banyak menguasai bahasa artinya ia memiliki IQ yang tinggi. Dan tak hanya
sekedar IQ, jika kita menguasai banyak bahasa akan banyak pula manfaat yang
kita rasakan. Mari kita belajar tanpa melupakan darimana kita berasal dan
lestarikan bahasa Indonesia!!!
@ungodamn