Powered By Blogger

Rabu, 09 November 2016

Sepenggal Cerita Mistis dari Pendakian Gunung Salak

                                                      Taman Nasional Gunung Halimun Salak


Haiii pembaca. Apa kabar? Semoga sehat selalu.
Kali ini saya mau berbagi cerita mengenai perjalanan pendakian saya hari Sabtu kemarin.

Pendakian saya kali ini tujuannya adalah Gunung  Salak. Yup, gunung yang terletak di kabupaten Sukabumi dan Bogor ini memang terkenal angker. Mendaki Gunung Salak memang bukan kali pertama buat saya. Tahun 2015 lalu, saya sudah pernah menginjakkan kaki di puncak Salak 1.

Benar kata orang, Gunung Salak memang bukan gunung yang cocok dijadikan sebagai "gunung wisata" tetapi lebih, bahkan sangat cocok dijadikan sebagai gunung pelatihan militer. Jalur pendakian Gunung Salak memang sangat menguras tenaga, terlebih jika tujuannya ke puncak. Dengkul ketemu dagu, begitu istilah yang sering digunakan pendaki untuk menggambarkan jalur yang tanjakannya bikin meler dengkul. Bahkan untuk menuju puncak ada beberapa tanjakan yang memerlukan tali webbing untuk melewatinya.

Karena saya sudah pernah sampai ke puncak, pendakian Gunung Salak kali ini tujuannya bukan ke puncak, tetapi ke Kawah Ratu dan Kawah Mati.

Singkat cerita, saya pergi bersama 4 orang teman. Kami memutuskan untuk naik lewat jalur Cidahu, Sukabumi.

Hari Sabtu sore gerimis mengiringi langkah pertama kami menyusuri gunung yang menjadi habitat macan dan owa Jawa tersebut. Karena hari sudah beranjak malam, kami pun memutuskan untuk membuka tenda di Pos Bajuri (rencana awal di curug kecil setelah helipet).

Udara malam itu tidak terlalu dingin seperti biasanya, mungkin karena sudah turun hujan. Malam itu kami lewati dengan suara dengkuran yang bersahutan dengan binatang di luar sana.

Keesokan harinya setelah sarapan dan hunting foto, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan pertama kami, Kawah Ratu. Sekitar 1 jam berjalan akhirnya kami tiba di kawah yang aktif mengeluarkan semburan belerang panasnya.

Kami pun turun ke kawah. Setelah puas berfoto di kawah, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Kawah Mati. Kami juga tidak mau berlama-lama berada di Kawah Ratu karena udara di sana berbahaya bagi paru-paru.

Perjalanan ke Kawah Mati berjalan lancar, bahkan pemandangan yang kami lewati sungguh luar biasa. Sekali lagi saya bilang, Indonesia memang penuh kejutan.

Di atas, langit sudah tidak sabar untuk mengguyur bumi. Kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk pulang. Jalur pulang kali ini lewat Curug Ngumpet, Bogor. Sekilas jalurnya mirip dengan jalur Senaru di Gunung Rinjani. Karena Gunung Salak memiliki banyak jalur air, maka tak heran jika jalurnya banyak menyebrangi sungai kecil.

Cerita mistis berawal dari sini......

Di sungai terakhir yang kami lalui, kami memutuskan untuk memasak mie rebus dan teh manis. Kami saat itu tepat berada di seberang sungai. Kompor, nesting dan logistik kami keluarkan. Sebagai orang yang hobi photography seperti saya, momen melepaskan carriel dari pundak adalah momen yang pas untuk mengeluarkan kamera.
Dan itu yang saya lakukan.

Kamera on.
Jepret.
Saya memotret teman-teman saya dan pendaki lain yang juga sedang makan siang di sungai tersebut.
Jepret.
Lagi.
Gambar okay.

Setelah memotret teman-teman saya. Saya balik kanan, menghadap hulu sungai yang berbentuk seperti air terjun kecil.
"Asyik nih objeknya" pikir saya.
Lalu saya berjalan ke sungai, mendekati hulu.
Kamera saya atur. Objek sudah didapat. Fokus sudah okay.
Jepret.
Okay. Tapi kurang bagus.
Saya berjalan lagi, lebih dekat lagi dengan hulu sungai.
Fokus.
Jepret.
Tiba-tiba...
Astagfirullohaladzim.
Saat itu jantung saya seperti mau copot. Dagdigdug.
Saya balik kanan. Lari menuju teman-teman saya.
"Kenapa?" Tanya mereka.
"Duh.... ga usah makanlah, ga usah masak. Lanjut aja yukk" Jawab saya.
"Udah gapapa. Tenang aja" Kata bang Fandi, teman saya yang kebetulan memiliki kemampuan khusus tentang hal-hal mistis.
Yasudah. Saya pun sedikit tenang.

Walaupun masih deg-degan, saya mencoba rilex dan memberanikan diri melihat hasil jepretan saya yang terakhir tadi.

Ya Allah.

(Bodohnya saya) Karena penasaran, saya kembali mengatur kamera saya. Saya membidik objek lain. Lancar.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Tidak ada apa-apa.
Lalu saya kembali balik kanan menghadap hulu sungai.
Kamera saya arahkan lagi ke sana.
Jepret.
Astagfirulloh.
Sekali lagi.
Ya Allah, makhluk hitam itu memang ada!

Dengan rasa deg-degan setengah mati, saya mematikan kamera saya dan memasukkannya lagi ke dalam tas.

Singkat cerita kami melanjutkan perjalanan. Hingga sekitar jam 5 sore kami pun tiba di warung kopi dan saat itu juga hujan turun dengan lebatnya disertai petir.

Hingga maghrib tiba hujan masih tidak memperlihatkan tanda akan berhenti. Kami mulai gelisah karena hari sudah malam, hujan dan kami masih di kaki gunung. Besok senin harus masuk kerja.
Bete.
Karena hujan masih mengguyur dan angkot carteran belum datang juga, kami pun mengobrol hingga angkot yang ditunggu datang.
Kami langsung masuk ke dalam angkot.

Baru saja angkot berjalan 10 meter tiba-tiba teman perempuan saya membentak supir angkot.
"Pareuman eta musik gandeng! Pareuman! Gandeng!" (Matiin musiknya! Berisik! Matiin!)
Kami semua langsung diam. Saya? Degdegan karena tau pasti ada yang tidak beres.
Mamang supir pun mematikan musiknya.
Suasana masih sepi. Tak ada yang berani bersuara.
Dia, teman saya itu tiba-tiba memukul tangan saya dengan keras sambil tertawa dan berkata
"Ramenya? Meni rameee. Hihihihi" (Rame yah? Rame bangett).
Saya tahu, kami tahu, dia kesurupan!

"Ramenya tadi diditu? Ngagandengkeun di imah aing" sambungnya sambil melotot. (Rame yah tadi di sana? Berisik banget di rumah saya).
Bang Fandi, kebetulan tidak mengerti bahasa Sunda. Terpaksa, sambil takut dan degdegan saya menerjemahkan ke dia apa yang  makhluk gaib itu katakan.

"Engke deui mah bebeja heula! Lain kitu" (Lain kali bilang dulu. Bukan begitu)
Lalu tiba-tiba dia yang duduk berhadapan dengan saya membentak saya sambil melotot dan bilang "Maneh deuih! Aing keur cicing dipoto!" (Kamu lagi! Saya lagi diem difoto!)

Deg!!!
OMG. Ternyata yang masuk ke badan teman saya, yang tadi saya lihat di hulu sungai.
Mamaaahhhhh.
Kebayang donggg gimana deg-degannya saya. Saya yang moto dia dan sekarang dia marah!
Ya Allah udah pengen nangis bangetlah. Takut. Campur aduk.

Terus bang Fandi baca-baca gitu sambil minta maaf. Saya diem. Takut. Kaku. Frozen. Pengen nangis.

"Bebeja heula engke mah pan eta teh wilayah aing!" (Lain kali bilang dulu kan itu wilayah saya) ulangnya.
"Dahar ge sorangan we teu nawaran!" (Makan juga sendiri aja gak nawarin!)
Teman saya masih memarahi kami.
Lalu ia kembali melihat saya dan membentak
"Tah maneh! Hapus siah kabeh foto nu tadi di tempat aing. Awas mun teu dihapus, maneh!!!"
(Nah kamu! Hapus semua foto yang tadi di tempat saya. Awas kalau ga dihapus, kamu!!!)

Langsung lemes deh diomongin gitu. Sambil degdegan dan takut saya jawab "Iya maaf, nanti saya hapus semua"

"Jauh keneh teu ieu teh?" (Masih jauh gak nih?) katanya.
"Nggeus atuh hayang balik aing mah. Pan aing mah cicing na ge dinu tadi" (Udah dong pengen pulang. Kan saya diemnya di tempat tadi)
Makhluk gaib itu masih terus marah-marah.

Singkat cerita kami sudah sampai di pinggiran kota Bogor. Kami masih harus dua kali naik angkot lagi untuk ke terminal.

Nah, selama di dua angkot itu pundak, punggung dan tangan saya terasa panas seperti dipanggang dalam oven. Sementara teman saya yang kesurupan belum sembuh, ia masih menunduk dijampi-jampi oleh bang Fandi.
Segala macam dzikir sudah saya baca dalam hati. Tetap saja panasnya tidak mau hilang. Kaca angkot yang kebuka juga gak bisa nurunin kadar panas itu, padahal angin malam saat itu cukup dingin.
Ya Allah. Saya takut kalau makhluk gaib itu berpindah atau ikut ke saya :(
Sumpah, saat itu pundak saya sampai ke tangan berasa lagi dipanggang. Panasnya luar biasa. Karena sudah tidak kuat, akhirnya saya meneteskan air mata.
Takut :(
Ngerasa bersalah iya :(
Degdegan
Badan lemes
Aahhh campur aduk pokoknya.

Alhamdulillah setelah sampai di terminal, teman saya nampaknya sembuh dan tiba-tiba juga rasa panas yang saya rasakan di pundak seketika hilang. Hanya rasa mual yang tersisa.

Sungguh, sampai hari ini saya masih belum percaya kalau saya sendiri yang merasakan kejadian seperti itu di Gunung Salak.
Selama ini saya hanya mendengar cerita-cerita mistis Gunung Salak dari orang-orang saja.

Cerita ini saya share untuk dijadikan pelajaran agar tidak mengalami kejadian seperti saya.

Mendaki gunung memang hobi positif. Namun ada hal-hal diluar nalar kita yang juga harus diperhatikan.

Jangan lupa untuk menjaga sikap, omongan dan tingkah laku ketika kita mendaki, karena pada hakikatnya kita tidak hidup "sendiri". Masih ada makhluk-makluk Allah lainnya yang ada di sini.
Hanya kepada Allah SWT kita memohon perlindungan.
Semoga tulisan saya ini bermanfaat :)

Thank you

Find me on Instagram: @ungodamn

2 komentar: