Powered By Blogger

Jumat, 18 November 2016

Jalanku pada-Mu (The Meaning of True Love)



Permainan paling indah sekaligus rumit yang Tuhan berikan kepada manusia adalah "jatuh cinta".

Kita jatuh ke dalamnya, entah seluruh atau hanya sebagian kecil dari diri kita. Yang jelas ketika kita mengalami momen itu, kita akan merasa bahagia, sedih dan takut secara bersamaan.

Ada banyak faktor yang menjadikan kita terjebak dalam partikel-partikel sejenis dan tidak sejenis, sehingga unsur di dalam hati, otak dan jiwa kita akan saling tarik menarik serta tolak menolak.

"I love you". Aku menyebutnya "mantra ajaib" layaknya "Expelliarmus" milik Harry Potter. Mantra ajaib yang hanya terdiri dari 3 kata ini entah bagaimana rumusnya, ternyata mampu membuat manusia melayang, khawatir, takut, bingung, sedih hingga depresi.

Cinta memang sulit untuk didefinisikan dengan kata, jika kita belum pernah merasakan seluruh partikel tubuh, jiwa dan universe bersatu menyerukan satu nama yang sama. Jika mencintai hanya sekedar mencintai tanpa tahu apa maknanya cinta, tentu mantra itu tak akan bereaksi dengan maksimal. Seperti kamera DSLR. Ketika tidak mengerti ISO, AF, lensa dan komponen yang lainnya, orang hanya akan mengambil gambar dengan pengaturan standar saja. Padahal jika dimengerti, kamera DSLR dapat menghasilkan rupa-rupa gambar yang jauh lebih baik. Orang yang tidak mengerti, akan membeli kamera DSLR hanya karena tampilan luarnya saja. Bagus, menarik, keren. Soal cara pakai nanti saja, yang penting bisa jepret.

Begitu juga dengan cinta.
Mari kita simak, kita lihat dan kita ingat lagi, seberapa banyak orang yang jatuh cinta hanya karena penampilan luar saja?
Sedikit? Sedang? Banyak? Atau sangat banyak?

Lalu kita beranjak ke ranah yang lebih serius.
Ada berapa banyak orang yang cerai karena tidak ada kepuasan terhadap pasangan? Entah itu kepuasan fisik, harta, gelar, uang bahkan masalah seksual .
Sedikit? Sedang? Banyak? Atau sangat banyak?

Aku pikir kita semua setuju bahwa jawabannya adalah sangat banyak. Bukan begitu?
Lalu apa korelasi antara dua pertanyaan di atas?

Mari kita cerna.
Ketika ada laki-laki yang jatuh cinta kepada wanita karena melihat kecantikannya, kira-kira apa yang terjadi jika si laki-laki melihat wanita yang lebih cantik?
Ingat! Seberapa cantik pun seorang wanita, akan selalu ada yang jauh lebih cantik. Ya kan?

Lalu ketika ada wanita yang jatuh cinta kepada laki-laki karena ia kaya raya. Bayangkan apa yang terjadi jika si laki-laki bangkrut?
Ingat juga, roda kehidupan itu berputar. Manusia takan selamanya kaya. Ada waktunya Tuhan menempatkan pada titik "miskin".

Pada hakikatnya manusia memang makhluk yang saling membutuhkan. Termasuk kebutuhan "kasih sayang". Dan menurutku itu yang paling fundamental. Kenapa? Karena pada dasarnya kebutuhan sandang, pangan, sosial, seksual, hingga beragama akan lebih membahagiakan jika dilakukan dengan orang yang kita cintai.

Namun pertanyaan yang sering muncul adalah "Apakah dia benar-benar orangnya?"
"Kapan yah aku ketemu dia?"
"Apakah dia benar mencintaiku?"
"Bagaimana kalau ternyata bukan dia orangnya?"

Satu kali seumur hidupnya, setiap orang pasti pernah menanyakan hal itu kepada dirinya.

Begini.
Dulu, aku tidak mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya.
Dulu, aku bahkan sering mengerutkan kening ketika melihat kasus-kasus orang yang "mengorbankan" hidupnya demi satu orang.
Why did they do that? Life is wonderful, isn't it?
Yeaaa... I've asked it thousand times before. Until last night, something happened to me. Something bad.

Seumur hidupku, aku tidak pernah menangis sejadi-jadinya seperti kemarin.
Aku tidak pernah sakit seperti yang aku rasakan kemarin.
Aku tidak pernah takut kehilangan seperti yang terjadi kemarin.
Semua rasa itu tiba-tiba menimpaku dalam satu waktu.

Bam!
It was just like a thunder in the morning.
I'm broken right into tiny pieces.
It was so bad. Really really bad.

Aku tak bisa bagaimana mendeskripsikan perasaan ku saat itu. Jika ada tingkatan kata yang lebih dari "pain, hurt, broke", mungkin itu yang paling cocok.

Tuhan sudah membuka mataku.
I know that there's something behind. So was last night.
He wants me to grow up. He wants me to learn.

Walaupun sakit, aku tahu bahwa itu adalah pembelajaran.
Hingga kesimpulannya datang padaku, bahwa:
1) Aku berani berkata "I love you" pada seseorang, hanya jika aku melihat jalan Tuhan padanya. Sehingga akan sangat sulit bagiku menemukannya lagi.
Logikanya begini,
Tuhan itu Esa. Satu.
Jika ia menjelma pada diri manusia untuk menuntunku pada-Nya, apakah Tuhan akan menjamak? I don't think so. Yang mungkin adalah dia merubah objeknya atau menempa subjeknya.

2) Mencintai itu bukan tentang cantik, tampan, pintar, keren, kaya, dan hal lainnya yang bersifat visual. Lebih dari itu. Cinta itu soal ikhlas. Bukan soal ego apalagi gengsi.
Seorang ibu, ia akan jatuh cinta kepada anaknya walaupun si anak masih dalam kandungan. Mereka belum bertatap muka, tapi ikatan batin yang menyatukan mereka. Sehingga ibu akan menjaga si anak dengan sungguh-sungguh. Dalam beberapa kasus medis, ketika ibu dihadapkan pada pilihan "menyelematkan anak atau ibunya", si ibu akan mengorbankan ibunya demi keselamatan si anak. Kenapa? Karena rasa cinta ibu sudah tertanam pada anaknya melalui ikatan batin walaupun mereka belum bertemu.
Intinya sang ibu hanya berharap si anak hidup agar dia bisa bahagia.

Pun dengan cinta kepada lawan jenis. Aku lebih suka menyebutnya "my half". Why? Karena 100% takkan sempurna tanpa 50% yang lain.

Sempurna.
Ketika kita bertemu dengan orang yang kita cintai, bukankah itu menyenangkan?
Ketika kita jadian dengan orang yg kita cintai, bukankah itu membahagiakan?
Dan ketika kita dapat menyatukan badan dan jiwa dengan orang yang kita cintai, bukankah itu sempurna?

Kesempurnaan tertinggi yang bisa digapai oleh semua manusia adalah kesempurnaan cintanya kepada seseorang untuk menuju bersama kepada Tuhan.

Ada sebuah kisah nyata yang aku ketahui.
Di sebuah daerah di kabupaten Bandung, ada seorang wanita yang kini umurnya kurang lebih sekitar 60 tahun. Ia hingga hari ini masih melajang alias belum menikah. Bukan tidak laku. Ia tidak mau. Alasannya karena orang yang dia cintai sudah menikah dengan orang lain.

Secara kasat mata, kita semua pasti heran. Bahkan pasti ada yang berpikir si wanita itu gila dan lebay. Hanya karena seorang lelaki ia sampai tak mau menikah.
Pertanyaan ku ketika mendengar kisah si wanita itu adalah "Apa yang telah diperbuat si lelaki hingga dia sangat mencintainya dan tetap menunggu sampai puluhan tahun?" Sekilas terdengar seperti kisah film-film bollywood. Namun ternyata kisah ini nyata adanya.

Hingga ada sesuatu yang "menyengat" batinku tentang cinta dan Tuhan.
Mungkin hanya pada diri si lelaki itulah, si wanita menemukan jalan menuju Tuhan. Ketika keinginan untuk kembali kepada Tuhan sudah mendarah daging menembus lapisan tulang terbawah, apakah ada lagi keinginan yang lebih hakiki daripada itu?
Tidak.
Karena Tuhan adalah tujuan sejati setiap individu.

Maka, ketika kamu menemukan jalan itu pada seseorang, kamu akan melalukan segala cara untuk dapat berjalan pada jalan itu.
Ketika jalan itu ada pada orang yang mencintaimu dan kamu juga mencintainya, kamu adalah orang paling bahagia di muka bumi.
Ketika jalan itu ada pada orang yang tidak mencintaimu dan kamu mencintainya, ikhlaskan. Ingat. Ketika Tuhan menjelma, menuntunmu pada-Nya melalui seseorang, yang harus kamu lakukan adalah membuatnya bahagia. Jika memang kebahagiannya bukan terletak padamu, ikhlas.
Memang secara fisik ia tidak bersamamu.
Namun ketika kamu ikhlas membuatnya bahagia, apakah Tuhan akan diam?
Tidak!
Seperti kata Coldplay, "Lights will guide you home".

E.D
November, 2016.

Find me on instagram @ungodamn

Rabu, 09 November 2016

Sepenggal Cerita Mistis dari Pendakian Gunung Salak

                                                      Taman Nasional Gunung Halimun Salak


Haiii pembaca. Apa kabar? Semoga sehat selalu.
Kali ini saya mau berbagi cerita mengenai perjalanan pendakian saya hari Sabtu kemarin.

Pendakian saya kali ini tujuannya adalah Gunung  Salak. Yup, gunung yang terletak di kabupaten Sukabumi dan Bogor ini memang terkenal angker. Mendaki Gunung Salak memang bukan kali pertama buat saya. Tahun 2015 lalu, saya sudah pernah menginjakkan kaki di puncak Salak 1.

Benar kata orang, Gunung Salak memang bukan gunung yang cocok dijadikan sebagai "gunung wisata" tetapi lebih, bahkan sangat cocok dijadikan sebagai gunung pelatihan militer. Jalur pendakian Gunung Salak memang sangat menguras tenaga, terlebih jika tujuannya ke puncak. Dengkul ketemu dagu, begitu istilah yang sering digunakan pendaki untuk menggambarkan jalur yang tanjakannya bikin meler dengkul. Bahkan untuk menuju puncak ada beberapa tanjakan yang memerlukan tali webbing untuk melewatinya.

Karena saya sudah pernah sampai ke puncak, pendakian Gunung Salak kali ini tujuannya bukan ke puncak, tetapi ke Kawah Ratu dan Kawah Mati.

Singkat cerita, saya pergi bersama 4 orang teman. Kami memutuskan untuk naik lewat jalur Cidahu, Sukabumi.

Hari Sabtu sore gerimis mengiringi langkah pertama kami menyusuri gunung yang menjadi habitat macan dan owa Jawa tersebut. Karena hari sudah beranjak malam, kami pun memutuskan untuk membuka tenda di Pos Bajuri (rencana awal di curug kecil setelah helipet).

Udara malam itu tidak terlalu dingin seperti biasanya, mungkin karena sudah turun hujan. Malam itu kami lewati dengan suara dengkuran yang bersahutan dengan binatang di luar sana.

Keesokan harinya setelah sarapan dan hunting foto, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan pertama kami, Kawah Ratu. Sekitar 1 jam berjalan akhirnya kami tiba di kawah yang aktif mengeluarkan semburan belerang panasnya.

Kami pun turun ke kawah. Setelah puas berfoto di kawah, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Kawah Mati. Kami juga tidak mau berlama-lama berada di Kawah Ratu karena udara di sana berbahaya bagi paru-paru.

Perjalanan ke Kawah Mati berjalan lancar, bahkan pemandangan yang kami lewati sungguh luar biasa. Sekali lagi saya bilang, Indonesia memang penuh kejutan.

Di atas, langit sudah tidak sabar untuk mengguyur bumi. Kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk pulang. Jalur pulang kali ini lewat Curug Ngumpet, Bogor. Sekilas jalurnya mirip dengan jalur Senaru di Gunung Rinjani. Karena Gunung Salak memiliki banyak jalur air, maka tak heran jika jalurnya banyak menyebrangi sungai kecil.

Cerita mistis berawal dari sini......

Di sungai terakhir yang kami lalui, kami memutuskan untuk memasak mie rebus dan teh manis. Kami saat itu tepat berada di seberang sungai. Kompor, nesting dan logistik kami keluarkan. Sebagai orang yang hobi photography seperti saya, momen melepaskan carriel dari pundak adalah momen yang pas untuk mengeluarkan kamera.
Dan itu yang saya lakukan.

Kamera on.
Jepret.
Saya memotret teman-teman saya dan pendaki lain yang juga sedang makan siang di sungai tersebut.
Jepret.
Lagi.
Gambar okay.

Setelah memotret teman-teman saya. Saya balik kanan, menghadap hulu sungai yang berbentuk seperti air terjun kecil.
"Asyik nih objeknya" pikir saya.
Lalu saya berjalan ke sungai, mendekati hulu.
Kamera saya atur. Objek sudah didapat. Fokus sudah okay.
Jepret.
Okay. Tapi kurang bagus.
Saya berjalan lagi, lebih dekat lagi dengan hulu sungai.
Fokus.
Jepret.
Tiba-tiba...
Astagfirullohaladzim.
Saat itu jantung saya seperti mau copot. Dagdigdug.
Saya balik kanan. Lari menuju teman-teman saya.
"Kenapa?" Tanya mereka.
"Duh.... ga usah makanlah, ga usah masak. Lanjut aja yukk" Jawab saya.
"Udah gapapa. Tenang aja" Kata bang Fandi, teman saya yang kebetulan memiliki kemampuan khusus tentang hal-hal mistis.
Yasudah. Saya pun sedikit tenang.

Walaupun masih deg-degan, saya mencoba rilex dan memberanikan diri melihat hasil jepretan saya yang terakhir tadi.

Ya Allah.

(Bodohnya saya) Karena penasaran, saya kembali mengatur kamera saya. Saya membidik objek lain. Lancar.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Tidak ada apa-apa.
Lalu saya kembali balik kanan menghadap hulu sungai.
Kamera saya arahkan lagi ke sana.
Jepret.
Astagfirulloh.
Sekali lagi.
Ya Allah, makhluk hitam itu memang ada!

Dengan rasa deg-degan setengah mati, saya mematikan kamera saya dan memasukkannya lagi ke dalam tas.

Singkat cerita kami melanjutkan perjalanan. Hingga sekitar jam 5 sore kami pun tiba di warung kopi dan saat itu juga hujan turun dengan lebatnya disertai petir.

Hingga maghrib tiba hujan masih tidak memperlihatkan tanda akan berhenti. Kami mulai gelisah karena hari sudah malam, hujan dan kami masih di kaki gunung. Besok senin harus masuk kerja.
Bete.
Karena hujan masih mengguyur dan angkot carteran belum datang juga, kami pun mengobrol hingga angkot yang ditunggu datang.
Kami langsung masuk ke dalam angkot.

Baru saja angkot berjalan 10 meter tiba-tiba teman perempuan saya membentak supir angkot.
"Pareuman eta musik gandeng! Pareuman! Gandeng!" (Matiin musiknya! Berisik! Matiin!)
Kami semua langsung diam. Saya? Degdegan karena tau pasti ada yang tidak beres.
Mamang supir pun mematikan musiknya.
Suasana masih sepi. Tak ada yang berani bersuara.
Dia, teman saya itu tiba-tiba memukul tangan saya dengan keras sambil tertawa dan berkata
"Ramenya? Meni rameee. Hihihihi" (Rame yah? Rame bangett).
Saya tahu, kami tahu, dia kesurupan!

"Ramenya tadi diditu? Ngagandengkeun di imah aing" sambungnya sambil melotot. (Rame yah tadi di sana? Berisik banget di rumah saya).
Bang Fandi, kebetulan tidak mengerti bahasa Sunda. Terpaksa, sambil takut dan degdegan saya menerjemahkan ke dia apa yang  makhluk gaib itu katakan.

"Engke deui mah bebeja heula! Lain kitu" (Lain kali bilang dulu. Bukan begitu)
Lalu tiba-tiba dia yang duduk berhadapan dengan saya membentak saya sambil melotot dan bilang "Maneh deuih! Aing keur cicing dipoto!" (Kamu lagi! Saya lagi diem difoto!)

Deg!!!
OMG. Ternyata yang masuk ke badan teman saya, yang tadi saya lihat di hulu sungai.
Mamaaahhhhh.
Kebayang donggg gimana deg-degannya saya. Saya yang moto dia dan sekarang dia marah!
Ya Allah udah pengen nangis bangetlah. Takut. Campur aduk.

Terus bang Fandi baca-baca gitu sambil minta maaf. Saya diem. Takut. Kaku. Frozen. Pengen nangis.

"Bebeja heula engke mah pan eta teh wilayah aing!" (Lain kali bilang dulu kan itu wilayah saya) ulangnya.
"Dahar ge sorangan we teu nawaran!" (Makan juga sendiri aja gak nawarin!)
Teman saya masih memarahi kami.
Lalu ia kembali melihat saya dan membentak
"Tah maneh! Hapus siah kabeh foto nu tadi di tempat aing. Awas mun teu dihapus, maneh!!!"
(Nah kamu! Hapus semua foto yang tadi di tempat saya. Awas kalau ga dihapus, kamu!!!)

Langsung lemes deh diomongin gitu. Sambil degdegan dan takut saya jawab "Iya maaf, nanti saya hapus semua"

"Jauh keneh teu ieu teh?" (Masih jauh gak nih?) katanya.
"Nggeus atuh hayang balik aing mah. Pan aing mah cicing na ge dinu tadi" (Udah dong pengen pulang. Kan saya diemnya di tempat tadi)
Makhluk gaib itu masih terus marah-marah.

Singkat cerita kami sudah sampai di pinggiran kota Bogor. Kami masih harus dua kali naik angkot lagi untuk ke terminal.

Nah, selama di dua angkot itu pundak, punggung dan tangan saya terasa panas seperti dipanggang dalam oven. Sementara teman saya yang kesurupan belum sembuh, ia masih menunduk dijampi-jampi oleh bang Fandi.
Segala macam dzikir sudah saya baca dalam hati. Tetap saja panasnya tidak mau hilang. Kaca angkot yang kebuka juga gak bisa nurunin kadar panas itu, padahal angin malam saat itu cukup dingin.
Ya Allah. Saya takut kalau makhluk gaib itu berpindah atau ikut ke saya :(
Sumpah, saat itu pundak saya sampai ke tangan berasa lagi dipanggang. Panasnya luar biasa. Karena sudah tidak kuat, akhirnya saya meneteskan air mata.
Takut :(
Ngerasa bersalah iya :(
Degdegan
Badan lemes
Aahhh campur aduk pokoknya.

Alhamdulillah setelah sampai di terminal, teman saya nampaknya sembuh dan tiba-tiba juga rasa panas yang saya rasakan di pundak seketika hilang. Hanya rasa mual yang tersisa.

Sungguh, sampai hari ini saya masih belum percaya kalau saya sendiri yang merasakan kejadian seperti itu di Gunung Salak.
Selama ini saya hanya mendengar cerita-cerita mistis Gunung Salak dari orang-orang saja.

Cerita ini saya share untuk dijadikan pelajaran agar tidak mengalami kejadian seperti saya.

Mendaki gunung memang hobi positif. Namun ada hal-hal diluar nalar kita yang juga harus diperhatikan.

Jangan lupa untuk menjaga sikap, omongan dan tingkah laku ketika kita mendaki, karena pada hakikatnya kita tidak hidup "sendiri". Masih ada makhluk-makluk Allah lainnya yang ada di sini.
Hanya kepada Allah SWT kita memohon perlindungan.
Semoga tulisan saya ini bermanfaat :)

Thank you

Find me on Instagram: @ungodamn